Monday, July 19, 2010

Matinya John si Pengecut

John sedang merokok saat aku tiba, persis seperti kemarin. Ia membelakangiku, tapi aku tetap tahu karena ia berdiri di atas dipan dan kepalanya menghadap jendela berteralis. Di tempat ini sebenarnya tidak boleh merokok, jadi posisinya adalah satu-satunya cara melakukannya. Aku sendiri menganggap cara semacam itu terlalu merepotkan. Cuma orang yang benar-benar mau merokok yang akan bersusah-susah.

Ia tidak sadar akan kehadiranku dan baru menoleh ketika Chakarabasi membukakan pintu selnya. Ia tidak turun dari dipan, masih menempel tembok. Kepalanya saja yang terus meneleng ke belakang. Tampaknya ia
tidak akan membuang rokoknya sampai habis.

“Hai Dok. Terlambat hari ini. Ada pasien?”

“Ya,” jawabku. “Ada tahanan baru.”

“Tempat ini tambah ramai saja,” komentarnya sambil menghembuskan asap ke jendela.

Aku memperhatikan rokoknya.

“Kau selalu punya rokok, tidak pernah kehabisan. Dapat darimana?”

“Ini?” tanyanya sambil mengangkat tangan. “Dari Chakarabasi. Dia tidak pernah tahan merokok sendiri. Kadang-kadang aku dibagi. Kalau tidak habis, kusimpan. Koreknya juga dari dia.”

Chakarabasi tertawa mendengar John mengadu, tapi tidak menimpali. Ia mengunci pintu sel di belakangku.

“Saya mau misa dulu ya Dok. Kalau mau keluar, minta Hendilaha saja.”

Aku mengangguk. Begitu ia menghilang, aku duduk di dipan, di sebelah kaki John yang masih berdiri. Punggungku yang lelah kusandarkan ke tembok.

“Kau tidak akan minta aku berhenti merokok kan? Umurku saja tinggal dua hari,” kata John.

Lelucon itu lagi. Ia selalu mengulang-ulang leluconnya.

“Tidak,” jawabku datar. “Merokok saja sesukamu.”

Ia tersenyum sambil menghisap rokoknya lagi.

“Kata Chakarabasi ada algojo baru,” ujarnya tanpa menoleh ke bawah.

Hendilaha baru saja lewat. Ia mengangguk ke arahku tanpa tersenyum. Aku membalas anggukannya.

“Ya. Dia baru datang kemarin.”

“Profesional atau amatir? Semoga dia jago menggantung. Aku tidak mau mati pelan-pelan.”

“Tenang saja. Dia sudah berpengalaman. Sebelumnya dia sudah pernah bekerja di tempat lain.”

“Ooh, baguslah kalau begitu,” ujarnya sambil menghembus napas lega. “Berarti dia tidak akan ikut misa.”

“Kenapa begitu?”

“Karena dia sudah berpengalaman. Orangnya pasti sudah keras hati. Yang ikut misa mingguan penjara cuma orang-orang seperti Chakarabasi yang masih merasa bersalah. Hendilaha saja sudah tidak ikut.”

“Aku tidak ikut.”

“Ah, itu kan karena kau punya masalah pribadi.”

Aku mengangkat bahu, tidak tahu ia melihatnya atau tidak. Koran yang dari tadi kujepit di lengan, kugunakan untuk mengipas-ngipas dadaku yang gerah.

“Itu koran baru? Ada berita lagi soal aku?” tanya John tiba-tiba sambil menunduk ke arahku. Rupanya ia masih sesekali melihat ke bawah.

“Tidak. Kemarin kan sudah. Tokoh APR dipindah ke tempat eksekusi. Mereka mau menulis apalagi?”

“Yah, siapa tahu?” balasnya. “Kalau orang-orang di desa bilang apa?”

“Mereka mengadakan misa hari ini, untuk si pejuang kebebasan yang akan dihukum mati. Seharusnya banyak yang ikut. Jadi berbahagialah, banyak orang berdoa untukmu. Sebenarnya aku tidak menyangka orang-orang desaku peduli politik. Mungkin karena situasinya sudah terlalu parah. Kalau begini terus tidak lama pasti pecah revolusi.”

John mengangguk-angguk, tapi tidak mengindahkan topik baru yang kubuat.

“Kalau kau, Dok? Apa pendapatmu?”

“Maksudnya? Soal apa?”

“Aku. Pemberontak APR? Pejuang kebebasan? Yang kau pikir apa?”

Aku diam sebentar.

“Aku tidak tahu. Tapi yang pasti kau berani.”

“Berani? Kenapa?”

“Ya karena apa yang kau lakukan. Menerobos barikade tentara, mengorbankan diri supaya anggota APR yang lain bisa selamat. Kau berani.”

John tidak menjawab. Rokoknya sudah habis sekarang. Ia turun dari dipan dan duduk di lantai bersandarkan tembok. Untuk beberapa saat ia menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa kujelaskan. Akhirnya ia melihat ke luar sel. Wajahnya seperti memikirkan sesuatu. Mulutnya bergumam, “Kalau begitu aku tahu hari ini harus cerita apa saja.”

Aku tidak mengerti maksudnya tapi memutuskan tidak berkomentar. John mengibas-ngibaskan kaosnya.

“Panas juga ya? Aku mau sekali berenang,” ujarnya tiba-tiba.

“Kau bisa berenang?”

“Bisa. Waktu kecil aku tinggal dekat Chad.”

Aku mengangguk-angguk. Chad adalah danau yang besar. Aku sendiri tidak bisa berenang. Aku bahkan belum pernah melihat sungai.

“Tapi aku baru bisa berenang waktu remaja,” lanjutnya.

“Kukira orang-orang sekitar situ bisa berenang dari kecil.”

“Maka dari itu,” balasnya singkat.

“Kenapa bisa?” tanyaku.

“Takut. Aku takut tenggelam,” jawabnya sambil tertawa. “Ayahku pernah mengajariku, aku tenggelam saat diajari. Sebentar, kurang dari semenit. Tapi aku tidak mau belajar lagi. Rasanya tidak enak. Aku tidak mau kalau sampai tenggelam lagi. Ayah terus memaksaku sampai akhirnya menyerah juga. Aku terlalu keras kepala. Yah, lagipula kupikir buat apa belajar berenang.”

“Tapi akhirnya kau belajar juga kan?”

“Ya.”

“Karena apa?”

“Perempuan,” jawabnya singkat sambil tersenyum lebar.

Aku mendengus.

John tertawa.

“Pengalamanmu sama perempuan jelek? Bukankah kau punya pacar?” tanyanya.

“Ya dan ya,” jawabku. “Tapi aku tidak mau bicara soal itu.”

“Ya sudah,” balas John. Ia kemudian berbaring di lantai. Kedua lengannya diletakkan di belakang kepalanya. Matanya memandang langit-langit sel yang penuh bercak jamur karena sering bocor.

“Pengalamanku juga jelek,” kata John.

“Kenapa? Perempuan itu melakukan apa?”

“Bukan, bukan dia. Yang melakukan apa-apa itu aku. Aku selingkuh. Padahal kami sudah berhubungan lima tahun.”

Ia terdiam sesaat.

“Kalau diingat-ingat rasanya ternyata masih tidak enak. Tadinya kukira aku sudah tidak apa-apa,” gumamnya pelan seperti ke diri sendiri.

“Kenapa selingkuh?” tanyaku.

“Kenapa? Yah seperti orang lain mungkin. Aku tidak sayang lagi, lalu sayang orang lain.”

“Segampang itu?”

“Ya pasti tidak. Walaupun kalau diingat-ingat sayangku hilang lumayan cepat.” John menggaruk-garuk dagunya. “Iya cukup cepat.”

“Kalau sudah tidak sayang lagi kenapa tidak bilang? Atau putus saja?”

John menghela napas.

“Aku tidak berani. Aku takut dia terluka. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sampai iya. Apalagi dia sangat baik. Tapi akhirnya malah jadi lebih buruk. Hubungan kami berlarut-larut sampai lima tahun. Harapannya kubesarkan cuma untuk ditipu dan ditinggalkan. Aku juga menghalanginya dari menemukan orang yang lebih baik. Hm… Waktu ia tahu aku selingkuh rasanya buruk sekali.”

Aku tidak menjawab. John juga tidak berkata-kata lagi. Aku melihat ke jendela sel. Hari sudah gelap. Warna langitnya sudah tidak merah lagi.

“Dok?” panggilnya tiba-tiba.

“Ya?”

“Terima kasih sudah datang ke sini dua hari ini.”

“Ah, aku tidak repot kok,” balasku. “Di rumah terus juga bosan. Lagipula waktu kau minta aku datang, kupikir kau sedang butuh ditemani.”

“Butuh ditemani?”

“Ya.”

“Karena apa? Karena takut mati?” Suaranya mengeras. Wajahnya tiba-tiba tampak sangat tertarik mendengar jawabanku.

“Aku tidak tahu. Memangnya kenapa kau butuh ditemani?”

John bangkit dari tidurnya. Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya.

“Astaga, kau makin salah paham. Salahku sendiri bicara pelan-pelan. Aku harus lebih jelas sekarang.” Ia berpikir sejenak, lalu melanjutkan. “Aku tidak takut mati. Hm… bukan. Aku sudah tidak terlalu takut mati lagi. Masa terburuknya sudah lewat. Intinya, aku tidak meminta kau datang karena butuh ditemani.”

“Lalu untuk apa?”

“Tunggu, sebelum kujawab pertanyaanmu aku ingin bertanya dulu. Setelah mendengar ceritaku dari kemarin, terutama yang baru saja, apa pendapatmu soal aku sudah berubah?”

“Apa maksudmu?” tanyaku. “Bagaimana bisa berubah?”

“Aku tidak berani berenang, aku tidak berani berkata jujur pada pacarku, lalu kemarin aku bilang aku baru berani hidup sendiri setelah orang tuaku meninggal karena terpaksa, aku menolak tawaran bersekolah di luar negeri karena tidak berani meninggalkan rumah...” John berhenti. “Aku bisa terus bicara tanpa henti soal berbagai peristiwa hidupku tapi intinya tetap sama. Aku bukan orang yang berani. Itu masalahku sejak dulu. Aku lebih suka diam di tempat dimana aku merasa aman dan tidak berbuat apa-apa. Bahkan seandainya itu hal yang benar untuk dilakukan. Aku tidak suka mengambil risiko berbuat sesuatu yang mungkin akan terasa tidak enak.”

Aku tidak tahu ia hendak bicara ke arah mana.

“Sekarang katakan padaku,” lanjutnya. “Bagaimana seorang pengecut bisa menerobos barisan tentara dan menyelamatkan banyak orang?”

“Aku… tidak tahu,” jawabku tergagap. “Karena akhirnya kau menemukan sesuatu yang menurutmu pantas dibela?”

“Ah, aku tidak peduli pada APR dan agenda mereka, sebaik apapun kedengarannya.”

“Lalu apa yang membuatmu berbuat begitu?”

John menatapku, lalu menjawab lambat-lambat.

“Tidak ada.”

Aku mengerutkan keningku, tidak mengerti maksudnya.

“Karena aku memang tidak pernah berniat menyelamatkan nyawa orang-orang itu.”

Aku bingung. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku.

“Waktu bentrokan itu, aku baru pulang kerja. Seperti orang lain, aku lari menyelamatkan diri. Tapi tidak seperti orang lain, aku malah berakhir tepat di sebelah bentrokan. Saat itulah aku melihat bus yang ditinggalkan itu. Aku naik dan mencoba mengemudikannya menjauh dari bentrokan. Tidak kusangka para anggota APR malah naik ke atasnya. Mereka memaksaku menerobos tentara sampai kami tiba di luar kota. Di situ mereka turun dan mengajakku pergi bersama mereka. Aku menolak karena tidak mau terlibat bersama pemberontak. Kupikir bus itu mau kukemudikan saja sampai terminal terdekat, lalu pergi ke Chad. Ah, tapi ternyata jalan di depanku sudah diblokir. Sisanya kau sudah tahu.”

“Jadi…”

“Jadi semua perkataan tentang aku mengendarai bus kosong supaya tentara mengincarku sementara anggota APR yang lain bisa melarikan diri itu omong kosong. Aku orang biasa yang cuma cari selamat.”

Aku tertunduk diam, tidak menyangka kenyataannya seperti itu.

“Tadi masih ada yang kau tanyakan lagi,” ujarnya pelan.

Aku mendongak. Kepalaku berputar, aku ingat pertanyaanku tadi.

“Lalu kenapa kau minta aku datang ke selmu?”

Ia menatapku lekat-lekat sebelum menjawab.

“Karena aku ingin diingat lebih banyak orang. Yah selain Chakarabasi.”

“Bukankah sudah?” tanyaku. “Banyak orang yang akan mengingatmu. Kau lupa misa di desaku? Aku yakin di daerah lain juga begitu. Kau adalah pahlawan bagi mereka.”

“Kau kira yang mereka ingat itu aku?” ujarnya keras. “Tidakkah kau mengerti? Yang dibenci pemerintah dan dipuja masyarakat itu bukan aku. Aku yang sebenar-benarnya adalah aku yang kuceritakan kepadamu.”

Ia terdiam sebentar.

“Yang ku mau cuma diingat sebagaimana aku sesungguhnya, bukan sebagaimana yang orang kira tentang aku. Itulah mengapa aku menceritakan hidupku kepadamu. Aku berharap seseorang bisa mengenal dan mengenangku dengan benar setelah aku pergi.”

Aku terdiam. Akhirnya aku mengerti apa yang berusaha ia lakukan sejak kemarin.

John hanya memilin-milin ujung celana pendeknya. Aku juga cuma memandang lantai. Setelah beberapa saat kuputuskan untuk bicara.

“Mungkin ini tidak ada artinya. Tapi dari semua yang pernah kutemui, kau tahanan mati yang paling berani menghadapi eksekusi.”

Ia mendongak ke arahku. Matanya bersinar sesaat.

“Ya, mungkin kau benar,” katanya. “Terima kasih.”

---

Dua hari berikutnya kami terus bercakap-cakap. Sehari sesudahnya John dieksekusi. Algojo itu memang berpengalaman. Ia mati tanpa ribut-ribut. Kematiannya sendiri malah sebaliknya. Eksekusinya jadi pembicaraan hangat. Koran-koran menyebutnya sebagai kematian seorang pemberontak. Orang-orang di desaku mengatakannya sebagai gugurnya seorang pejuang kebebasan.

Aku sendiri tidak pernah menyuarakan pendapatku. Tapi kupikir-pikir, kalau ditanya, aku akan mengatakannya sebagai matinya John, seorang pengecut.

Ah tidak tidak, aku tertawa dalam hati. Itu terdengar jelek sekali.

Mungkin yang berikut ini lebih baik.

Aku sendiri akan mengatakannya sebagai matinya seseorang yang tidak suka kuning telur, penyayang binatang, senang radio, mau bersusah payah demi rokok, sering mengulang lelucon, akhirnya bisa berenang, keras kepala, pernah menyakiti hati perempuan, sebatang kara, baru mandiri setelah usianya kepala tiga, cerdas tapi bodoh, penakut pada awalnya tapi berani pada akhirnya, John, temanku.


Ya, itu lebih baik.

8 comments:

  1. nice pic... tp klo senyumnya lebih pasrah, bakal lebih bagus lg.. :)
    cerita pendek dengan isi yg cukup padat, gaya penulisan yg enak dibaca, tp ada beberapa penulisan aku&dia yg terbalik, so sempet sedikit bingung.. but overall it's a nice story.. ;)

    ReplyDelete
  2. ups sorry, kayanya ga terbalik, cuma aku yg salah baca.. heheheheeee ;p

    ReplyDelete
  3. mon-key
    hehehe
    thanks for the input!

    ReplyDelete
  4. waa kereenn mas, four thumbs up!! Ringan namun berbobot. Kurasa satu sikap lagi yang bisa menggambarkan John : lepas bebas..
    Keep writing ya, I'm waiting for the next and next stories :D

    ReplyDelete
  5. wah ceritanya banyak tambahan toh dari originalnya

    tapi tetep bagus bro, keep up the good work

    ReplyDelete